Jumat, 27 November 2020 | Akhmad Sudirman | Artikel
Diterbitkannya Undang-Undang No 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah bukan hanya menandai perubahan dalam struktur pemerintahan di Negara Kesatuan Republik Indonesia, tetapi juga babak baru dalam tata kelola sektor pendidikan di tanah air. Sebelum adanya undang-undang ini, pendidikan diwarnai oleh sentralisasi kewenangan, dimana hampir semua kebijakan di dunia pendidikan dikendalikan dari Jakarta. Pengalokasian anggaran, pengangkatan tenaga pendidik dan kependidikan serta penyusunan kurikulum merupakan wewenang penuh dari kementerian pendidikan. Daerah dan sekolah hanya memiliki peran minor dalam hal penyusunan program dan kebijakan terkait pendidikan. Dengan berlakunya Undang-undang No 22 tahun 1999 atau yang lebih populer dengan nama Undang-undang Otonomi Daerah, desentralisasi pendidikan mulai digulirkan dan membuka ruang partisipasi yang lebih luas kepada sekolah dan daerah .
Desentralisasi atau pelimpahan sebagian kewenangan dari pemerintah pusat ke daerah/sekolah didasari pada argumen bahwa sekolah ataupun daerah lebih peka terhadap kebutuhan peserta didik sehingga mampu mengalokasikan sumber daya yang ada secara lebih efektif dan efisien (Caldwell, 2005). Kebijakan desentralisasi ini membuka ruang kepada sekolah untuk meningkatkan partisipasi semua pemangku kepentingan yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan di sekolah, baik orang tua, masyarkat maupun dunia usaha dan industri. Sebagai landasaan hukum pelibatan peran masyarakat dalam pendidikan, dalam pasal 4 point ke 6 Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional, ditegaskan bahwa pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
Pelibatan peran masyarakat dan orang tua menjadi kunci suksesnya desentralisasi pendidikan dan menjadi komponen penting dalam usaha sekolah untuk meningkatkan mutu (Caldwell, 2005). Lebih jauh Caldwell menegaskan bahwa ada dua kiat yang bisa dilakukan sekolah dalam usaha meningkatkan outcome pendidikan melalui desentralisasi. Pertama, melakukan capacity building atau peningkatkan kompetensi terhadap semua unsur sekolah, baik guru, staf, maupun kepala sekolah. Tujuannya antara lain untuk bisa mengimbangi tuntutan orang tua dalam hal pendidikan anak dan menyesuaikan kurikulum agar sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Kedua, membangun social capital dengan cara memberdayakan orang tua dan masyarakat yang berada di lingkungan sekolah. Terdapat berbagai macam variasi dalam pemberdayaan masyarakat dan orang tua sebagai social capital, mulai dari yang memiliki peran terbatas pada perencanaan program seperti di negara Ceko dan Meksio, sampai dengan peran yang sangat besar seperti membentuk sekolah baru, seperti yang terjadi di Denmark ataupun Qatar (Barrera-Osorio, Fasih, Patrinos, & Santibanez, 2009). Di Indonesia sendiri peran masyarakat dan orang tua digolongkan sebagai moderat karena lebih banyak berfungsi sebagai badan penasehat melalui wakil mereka di Komite Sekolah.
Dalam Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 ditegaskan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam mewujudkan tujuan nasional tersebut tentunya sekolah berada di garda terdepan dan punya peran yang sangat signifikan. Hasil meta-analisis terhadap 800 penelitian yang dilakukan Hattie (2008) menunjukkan bahwa faktor dari internal sekolah yang cukup berpengaruh dalam perkembangan kemampuan anak antara lain faktor guru, kepemimpinan sekolah dan kurikulum. Diantara faktor guru, kualitas guru dan bagaimana guru membangun hubungan dengan siswa memiliki efek yang paling besar. Hal-hal lain seperti tingkat ekspektasi guru terhadap siswa dan pendidikan professional guru tergolong memberikan efek yang moderat atau sedang.
Selain faktor guru, Hattie juga menyimpulkan bahwa peran keluarga sangat berarti dalam pendidikan anak. Jika diurutkan mulai dari yang paling besar pengaruhnya, maka bagaimana orang tua memberikan semangat, motivasi, dorongan, dan harapan kepada anak, akan berada diurutan paling atas. Orang tua yang mampu memotivasi anak dan menempatkan ekspektasi kepada anak cenderung melahirkan anak yang berprestasi. Sedangkan faktor keluarga yang pengaruhnya moderat antara lain komunikasi antara orang tua dan anak terkait tugas-tugas sekolah seperti pengerjaan pekerjaan rumah dan diskusi terkait pelajaran di sekolah. Sedangkan pengawasan orang tua di rumah misalnya terkait waktu menonton televisi dan saat yang tepat untuk belajar memiliki efek yang paling kecil. Namun yang menjadi catatan Hattie adalah walaupun pemberian semangat dan harapan punya pengaruh yang signifikan, masih banyak orang tua yang belum paham bagaimana memberikan dorongan atau ekspektasi yang baik kepada anak. Pemilihan bahasa dan metode yang tepat dalam memotivasi anak masih menjadi hambatan utama.
Pentingnya peran orang tua dalam pendidikan anak juga diungkapkan dalam laporan yang dikeluarkan oleh Organisation for Economic Co-Operation and Development atau OECD pada tahun 2012. Menurut laporan tersebut, siswa cenderung meningkat kemampuan membaca dan kemampuan belajarnya secara umum jika orang tua sering terlibat dalam aktivitas belajar mereka serta menekankan pentingnya budaya membaca. Hal ini bukan berarti bahwa ada tuntutan agar orang tua harus memahami secara spesifik mata pelajaran tertentu dan meluangkan waktu yang cukup banyak dalam membahas pelajaran yang bersangkutan. Dalam laporan tersebut, disebutkan bahwa hanya diperlukan “kesungguhan” dan “keaktifan” dari orang tua. Ini artinya keterlibatkan dalam aktivitas belajar anak bukan hanya sekedar menggugurkan kewajiban dan tanpa adanya komunikasi dua arah antara orang tua dan anak. Laporan OECD tersebut juga menyebutkan bahwa terlepas dari kondisi ekonomi keluarga, pengaruh keterlibatan orang tua terhadap kemampuan anak akan cenderung sama. Selain kemampuan kognitif anak, keterlibatan orang tua sebagai pendidik juga berperan penting dalam pembentukan karakter anak hal ini ditandai dengan penururan perilaku negatif anak baik di rumah ataupun sekolah (Christenson & Reschly, 2009).
Disamping keterlibatan dalam aktivitas belajar anak di rumah, kebijakan desentralisasi juga memberikan ruang kepada orang tua untuk berpartisipasi aktif di sekolah. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 75 tahun 2016 tentang Komite Sekolah, orang tua melalui Komite sekolah dapat memberikan masukan terhadap program dan kebijakan sekolah serta mengawasi pelayanan pendidikan sebagai upaya peningkatan mutu. Orang tua juga dapat menggalang dana melalui upaya kreatif dan inovatif sebagai upaya membantu sekolah dalam pencapaian Standar Nasional Pendidikan (SNP). Dalam beberapa penelitian tentang keterlibatan orang tua di sekolah, beberapa temuan menujukkan bahwa keterlibatan orang tua dalam tata kelola sekolah mampu meningkatkan kinerja sekolah melalui penyedian sumber daya yang dibutuhkan sekolah serta meningkatkan parenting skill orang tua (Christenson & Reschly, 2009).
Meskipun kebijakan desentralisasi sudah lama diluncurkan, keterlibatan orang tua dalam penyelenggaran pendidikan belum bisa digolongkan tinggi. Beberapa hambatan dalam keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak datang dari keluarga sendiri ataupun sekolah. Persepsi dan kepercayaan punya andil terhadap kurangnya partisipasi orang tua baik di sekolah dan rumah. Christenson & Reschly ( 2009) menjelaskan bahwa banyak orang tua masih merasa bahwa mereka bukan guru yang baik dalam mendidik anak sehingga mereka enggan terlibat dalam membimbing anak di rumah, disisi lain sebagian pendidik beranggapan bahwa orang tua tidak mempunyai kompetensi yang sesuai untuk mendidik anak. Persepsi yang keliru juga terjadi karena adanya misinformasi. Hal ini diungkapkan Fitriah dkk (2013) bahwa sebelum diluncurkan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) pada tahun 2005, masyakat melihat bahwa partisipasi mereka dalam sekolah terbatas pada pengelolaan anggaran program sekolah, namun dengan diluncurkannya dana BOS, banyak orang tua berpandangan bahwa keterlibatan mereka dalam penyelenggaran sekolah sudah diperlukan lagi.
Minimnya sosialisasi di daerah juga menjadi penyebab terjadinya mispersepsi sehingga menurunkan angka partisipasi. Hasil penelitian Sumintono (2009) menunjukkan kurangnya sosialisai terhadap peran dan fungsi Komite Sekolah di masyakat menyebabkan menurunnya minat masyakat untuk aktif dalam penyelenggaran sekolah (Sumintono, 2009). Masyarakat masih banyak yang belum paham tentang peran mereka sebagai orang tua di dalam Komite Sekolah. Selain persepsi dan kepercayaan, Christenson & Reschly juga mengungkap kurangnya sumber daya sering dihadapi oleh para pendidik dan orang tua. Kendala waktu seringkali dijadikan alasan orang tua dalam menemani anak dalam belajar dan untuk hadir dalam kegiatan di sekolah. Dari sisi sekolah, padatnya kegiatan sekolah menjadi penyebab umum kurangnya alokasi waktu dan personil untuk menyelenggarakan kegiatan inovatif yang dapat meningkatkan partisipasi orang tua.
Banyaknya literatur yang menunjukkan pentingnya peran orang tua dalam meningkatkan kemampuan belajar anak serta mengoptimalkan kinerja sekolah seharunya menjadi acuan untuk menuju penyelenggaraan pendidikan yang partisipatif. Desentralisasi yang menjadi gerakan reformasi pendidikan di hampir seluruh dunia sejatinya dapat mendorong pelibatan peran orang tua dalam menyukeskan tujuan pendidikan nasional. Best Practice atau praktek baik dari negara yang sukses menerapkan desentralisasi di sektor pendidikan mungkin bisa ditiru. Australia sebagai salah satu negara yang lebih dahulu menerapkan desentralisasi dalam pendidikan kiranya bisa dijadikan referensi. Ada beberapa kiat yang dilakukan oleh pemerintah Australia untuk mendorong pendidikan yang partisipatif, antara lain:
Informasi mengenai peran keluarga dalam pendidikan anak umumnya disediakan oleh pemerintah dan dapat ditemukan di website kementerian pendidikan ataupun sekolah. Selain berisi informasi tugas dan peran orang tua, literatur yang menjadi acuan pemberian peran pun diikutsertakan, sehingga orang tua pun yakin dengan kontribusi mereka. Tidak hanya melalui website, kampanye pentingnya pentingnya peran orang tua pun dilakukan di media digital lainnya. Sekolah juga aktif mensosialisasikan informasi ini melalui school council atau komite sekolah yang ada di sekolah masing-masing. Upaya seperti ini tentu saja dapat mengurangi mispersepsi yang terjadi baik di kalangan pendidik, orang tua maupun pengambilan kebijakan di daerah.
Terdapat beberapa program yang rutin diagendakan oleh sekolah untuk menjalin kemitraan dengan orang tua. Salah satunya adalah kegiatan working bee atau kegiatan gotong royong untuk menyelesaikan proyek yang ada di sekolah. Mulai dari perbaikan ruang kelas sampai dengan taman sekolah. Terkait waktu pelaksanaan, biasanya komite sekolah akan menginformasikan jauh hari sebelum kegiatan dilaksanakan. Waktu pengerjaan pun biasanya diatur sangat fleksibel sehingga orang tua bisa memilih waktu yang tepat. Selain working bee, pentas seni atau olah raga antara siswapun merupakan agenda tahunan yang seringkali dijadikan ajang bagi sekolah untuk mensosialisasikan program-program mereka. Dua kegiatan ini lebih difokuskan untuk membina rasa kebersamaan antara orang tua dan pendidik.
Umumnya sekolah di Australisa memiliki platform digital seperti SeeSaw sebagai media komunikasi antara guru dan orang tua. Tersedianya media komunikasi antara guru dan orang tua sangat memudahkan guru dalam menyampaikan target yang dingin dicapai dan apa yang diperlukan untuk mencapai target tersebut. Platform ini juga memungkinkan guru untuk menginformasikan peran orang tua untuk membantu perkembangan anak didik termasuk kegiatan rutin apa yang perlu dilakukan dalam menemani anak belajar.
Penutup
Kita semua berharap bahwa anak-anak kita mendapatkan pendidikan bermutu sehingga dapat berkembang sesuai dengan potensi mereka. Namun tentu saja tidak adil jika semua dibebankan kepada para pendidik yang ada di sekolah. Peran orang tua sangat dibutuhkan. Alternatif solusi yang ditawarkan mungkin perlu disesuaikan dengan kondisi lokal. Namun yang terpenting adalah komunikasi yang baik bisa terjalin antara orang tua dan sekolah. Terjalinnya rasa saling percaya akan pentingnya peran masing-masing mutlak diperlukan demi terbentuknya upaya kolaboratif dalam mencapai tujuan nasional pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Barrera-Osorio, F., Fasih, T., Patrinos, H. A., & Santibanez, L. (2009). Decentralized decision-making in schools?: The theory and evidence on school-based management. Herndon, US: World Bank Publications. Retrieved from http://ebookcentral.proquest.com/lib/flinders/detail.action?docID=459642
Caldwell. (2005). School-based management (Vol. 3). International Institute for Educational Planning Perth, Australia.
Christenson, S., & Reschly, A. L. (2009). Handbook of school-family partnerships. New York, NY: Routledge.
Fitriah, A., Sumintono, B., Subekti, N. B., & Hassan, Z. (2013). A Different Result of Community Participation in Education: An Indonesian Case Study of Parental Participation in Public Primary Schools.(Case study)(Abstract). Asia Pacific Education Review, 14(4), 483. https://doi.org/10.1007/s12564-013-9275-8
Hattie, J. (2008). Visible learning: A synthesis of over 800 meta-analyses relating to achievement. Routledge.
Sumintono, B. (2009). School-based management policies and practices in Indonesia. Koln: Lambert Academic Publishing.
Online :10 |
Visitor hari ini : 1727 |
Jumlah Visitor : 58060 |
Jumlah Tampilan : 11 |